Kamis, 24 Januari 2013

CINTA ADALAH FITRAH SUCI


Cinta adalah Fitrah Yang Suci


Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia , yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya.
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar Rum ayat 21)
Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram.
Cinta mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan dan kerinduan disamping mengandung persiapan untuk menempuh kehidupan dikala suka dan duka, lapang dan sempit.
Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya. Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan.Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan dengan akhlak yang baik.
Islam adalah agama fitrah karena itulah Islam tidaklah membelenggu perasaan manusia. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seseorang manusia. Akan tetapi Islam mengajarkan pada manusia untuk menjaga perasaan cinta itu, dijaga, dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya.
Islam membersihkan dan mengarahkan perasaan cinta dan mengajarkan bahwa sebelum dilaksanakan akad nikah harus bersih dari persentuhan yang haram.

PERNIKAHAN TEMPAT BERMUARANYA CINTA
"Tidak terlihat diantara dua orang yang saling mencintai (sesuatu yang sangat menyenangkan) seperti pernikahan" (Ibnu Majah).
Pernikahan dalam Islam merupakan suatu kewajiban bagi yang mampu. Dan bagi insan manusia yang saling menyintai, pernikahan seharusnyalah menjadi tujuan utama mereka.
Karena itulah percintaan yang tidak mengarah kepada pernikahan bahkan disertai hal-hal yang diharamkan agama sangat tidak disarankan oleh Islam. Cinta dalam pandangan Islam bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik , dan bukan pula pembenaran terhadap perilaku yang dilarang agama. Karena hal ini bukanlah cinta melainkan sebuah lompatan birahi yang besar saja yang akan segera pupus.karena itu cinta memerlukan kematangan dan kedewasaan untuk membahagiakan pasangannya, bukan menyengsarakannya dan bukan juga menjerumuskannya ke jurang maksiat.
Percintaan tanpa didasarkan oleh tujuan hendak menikah adalah sebuah perbuatan maksiat yang diharamkan agama. Karena batas antara cinta dan nafsu birahi pada dua orang manusia yang saling mencintai sangatlah tipis sehingga pernikahan adalah sebuah obat yang sangat tepat untuk mengobatinya.
Pernikahan adalah sebuah perjanjian suci yang menjadikan Allah swt sebagai pemersatunya. dan tidak ada yang melebihi ikatan ini. dan inilah puncak segala kenikmatan cinta itu dimana kedua orang yang saling mencintai itu memilih untuk hidup bersama dan saling berjanji untuk saling mengasihi dan berbagi hidup baik suka maupun duka.


Jumat, 04 Januari 2013

LULUSAN PENDIDIKAN ISLAM


 LULUSAN PENDIDIKAN ISLAM
A.    PENDAHULUAN
Kritik atau keluhan yang sering di lontarkan masyarakat dan pihak orag tua murid selama ini, pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, belum mampu mengantar peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Sebagai contoh yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan penerjemahkan isinya.
Secara sederhana, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam (Achmadi, 2005: 28).
Hakikat pendidikan Islam adalah usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian memberi makan kepada jiwa anak didik, sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia (M. Arifin, 1993: 32).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa objek atau peserta didik merupakan satu unsur penting dalam kegiatan dan proses pendidikan Islam, karena adalah tidak mungkin jika pelaksanaan pendidikan Islam tidak bersentuhan dengan manusia-manusia sebagai objek atau peserta pendidikan. Manusia sebagai peserta didik menempati posisi yang menentukan dalam sebuah interaksi pembelajaran. Guru tidak mempunyai arti apa-apa tanpa kehadiran peserta didik sebagai subjek pendidikan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah kunci yang menentukan untuk terjadinya interaksi edukatif (Djamarah, 2000: 51).
Hal inilah yang menyebabkan kajian tentang peserta didik masih menarik dan dianggap perlu dilakukan, terutama yang berkaitan dengan pengertian peserta didik, kebutuhan peserta didik, peserta didik sebagai subjek pendidikan, pengembangan individu peserta didik, karakteristik peserta didik, sifat-sifat yang harus dimiliki peserta didik, tugas dan tanggung jawab peserta didik, dan etika menuntut ilmu dalam pendidikan Islam. Selain itu, penulis akan sedikit mengungkapkan tentang kompetensi lulusan dalam pendidikan Islam yang termuat dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Oleh karena itu, makalah ini diupayakan akan memberi tambahan wawasan bagi pembaca khususnya yang tertarik terhadap topik atau kajian dalam makalah ini.

B.     PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam merupakan sebagai suatu usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam. Salah satu yang menjadi komponen pendidikan adalah siswa, murid, atau peserta didik. Peserta merupakan individu yang memiliki sejumlah karakteristik dan kebutuhan, diantaranya:
1.      Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik.
2.       Individu yang sedang bertumbuh, berkembang dan membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
3.       Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
4.       Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi siswa, mahasiswa, warga belajar, palajar, Murid serta Santri. Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi. Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat atas. Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa. Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama Islam.
5.      Peserta didik adalah individu yang memiliki kebutuhan jasmani, rohani, social dan intelektual.
6.       Peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik).

Dalam menjelaskan arti Pendidikan Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan bahwa Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Alloh dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alloh. Secara terperinci beliau mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua cirri khas yaitu :
1.    Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak tinggi menurut ukuran Al-Qur’an.
2.    Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Marimba Ahmad,.1980. bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Sementara itu arti pendidikan Islam menurut hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 s/d 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor, adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.

C.    TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan pendidikan Islam. Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan manusia muslim yang dimaksud adalah pribadi-pribadi muslim yang mempunyai keseimbangan yang dapat mengintegrasikan kesejahteraan kehidupan di dunia maupun kebahagiaan kehidupan di akhirat, dapat menjalin hubungan kemasyarakatan yang baik dengan jiwa sosial yang tinggi, mengembangkan etos ta’awun dalam kebaikan dan taqwa, serta memiliki karakter yang baik atau berakhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
D.    KEBUTUHAN PESERTA DIDIK
Tingkah laku individu merupakan perwujudan dari dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan ini merupakan inti kodrat manusia. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kegiatan sekolah pada prinsipnya juga merupakan manifestasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu tersebut. Oleh sebab itu, seorang guru perlu mengenal dan memahami tingkat kebutuhan peserta didiknya, sehingga dapat membantu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka melalui berbagai aktivitas kependidikan, termasuk aktivitas pembelajaran. Di samping itu, dengan mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta didik, guru dapat memberikan pelajaran setepat mungkin, sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya (elearning.unesa.ac.id/.../pengertian-peserta-didik). Berikut ini disebutkan beberapa kebutuhan peserta didik yang perlu mendapat perhatian dari guru, di antaranya:
1.      Kebutuhan JasmaniSesuai dengan teori kebutuhan menurut Maslow, kebutuhan jasmaniah merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang bersifat instinktif dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah peserta didik yang perlu mendapat perhatian dari guru di sekolah antara lain: makan, minum, pakaian, oksigen, istirahat, kesehatan jasmani, gerak-gerak jasmani, serta terhindar dari berbagai ancaman. Apabila kebutuhan jasmaniah ini tidak terpenuhi, di samping mempengaruhi pembentukan pribadi dan perkembangn psikososial peserta didik, juga akan sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar di sekolah.
2.       Kebutuhan Rohaniah. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan siswa yang bersifat rohaniah
3.      Kebutuhan Sosial. Pemenuhan keinginan untuk saling bergaul sesasama peserta didik dan Pendidik serta orang lain. Dalam hal ini sekolah harus dipandang sebagai lembagatempat para siswa belajar, beradaptasi, bergaul sesama teman yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama, status sosial dan kecakapan.
4.      Kebutuhan Intelektual. Setiap siswa tidak sama dalam hal minat untuk mempelajari sesuatu ilmu pengetahuan. Dan peserta didik memiliki minat serta kecakapanyang berbeda beda. Untuk mengembangkannya bisa ciptakan pelajaran-pelajaran ekstra kurikuler yang dapat dipilih oleh siswa dalam rangkan mengembangkan kemampuan intelektual yang dimilikinya.

E.     PESERTA DIDIK SEBAGAI SUBYEK BELAJAR
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Di dalam proses belajar-mengajar, peserta didik sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Jadi dalam proses belajar mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain. Apa bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung, semua itu harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik.
Peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Sesuai dengan fitrahnya manusia adalah makhluk berbudaya, yang mana manusia dilahirkan dalam keadaan yang tidak mengetahui apa-apa dan ia mempunyai kesiapan untuk menjadi baik atau buruk. Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi oleh peserta didik sebagai subjek belajar dan objek belajar, yaitu: Mememahami dan menerima keadaan jasmani; Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya; Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa; Mencapai kematangan Emosional; Menunjukkan pada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial; Mencapai kematangan intelektual; Membentuk pandangan hidup; dan Mempersiapkan diri untuk mendirikan rumah tangga sendiri.

F.     KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
Karakteristik berasal dari kata karakter yang berarti tabiat watak, pembawaan, atau kebiasaan yang di miliki oleh individu yang relatif tetap (Pius Partanto, Dahlan, 1994 dalam http://ahmadfauzimpd.wordpress.com). Karakteristik peserta didik adalah keseluruhan kelakuan dan kemampuan yang ada pada peserta didik sebagai hasil dari pembawaan dan lingkungan sosialnya sehingga menentukan pola aktivitas dalam meraih cita-cintanya. Dengan demikian, penentuan tujuan belajar itu sebenarnya harus dikaitkan atau disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik itu sendiri. Ada tiga hal hal yang perlu diperhatikan dalam karakteristik peserta didik (elearning.unesa.ac.id/.../pengertian-peserta-didik), yaitu:
1.      Karakteristik atau keadaan yang berkenaan dengan kemampuan awal atau prerequisite skills, seperti misalnya kemampuan intelektual, kemampuan berfikir, mengucapkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikomotor dan lainnya.
2.      Karakteristik yang berhungan dengan latar belakang dan status sosial (socioculture).
3.      Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat dan lain-lain.

Pengetahuan mengenai karakteristik peserta didik ini memiliki arti yang cukup penting dalam interaksi belajar mengajar. Terutama bagi guru, informasi mengenai karakteristik peserta didik senantiasa akan sangat berguna dalam memilih dan menentukan pola-pola pengajaran yang lebih baik, yang dapat menjamin kemudahan belajar bagi setiap peserta didik. Adapun klasifikasi karakteristik peserta didik yang mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik antara lain:

a.      Gaya belajar
Banyak ahli yang menggunakan istilah berbeda-beda dalam memahami gaya belajar ini. Tetapi secara umum, menurut Bobby DePotter terdapat dua benang merah yang disepakati tentang gaya belajar ini. Pertama adalah cara seseorang menyerap informasi dengan mudah, yang disebut sebagai modalitas, dan kedua adalah cara orang mengolah dan mengatur informasi tersebut. Modalitas belajar adalah cara kita menyerap informasi melalui indera yang kita miliki. Masing-masing orang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam menyerap informasi. Terdapat tiga modalitas belajar ini, yaitu apa yang sering disingkat dengan VAK: Visual, Auditory, Kinestethic.
b.      Kondidi fisik
Pada masa kanak-kanak, ditandai denga hilangnya ciri–perut yang menonjol, seperti halnya kaki yang berkembang lebih cepat dari pada kepala. Pada mas perkembngan motorikanak semakin lebih halus 0-7 tahun
Pada masa pra remaja (SD), perkembangan fisik anak lebih lambat dari pada mereka memasuki maa kanak-kanak (perubahan relative sedikit ) 07-15 tahun
Pada masa remaja disebur pubertas yang mana perubahan fisik yang mebuat organisme secara matang mampu berproduksi. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang matang lebih awal mempunyai rasa cemas, lebih suka marah, sering konflik dengan orang tua dan mempunyai harga diri yang lebih rendah dari pada anak yang masuk pubertas akhir.
                           
G.    ETIKA PENUNTUT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Sebagaimana dijelaskan oleh Asmah Hasan Fahmi (isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/Ed21092646.pd), bahwa setiap peserta didik harus memiliki dan berprilaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti berikut ini:
        
1.      Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu, yaitu menjauhkan dari sifat-sifat tercela, seperti dengki, benci, menghasud, takabur, menipu, berbangga-bangga dan memuji diri dan menghiasi diri dengan akhlak mulia seperti benar, takwa, ikhlash, zuhud merendahkan diri dan ridha.
2.       Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan, dan bukan untuk bermegah-megahan dan mencari keududukan (Asma Hasan Fahmi, 1879: 176). Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, pedidik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah (tercela) sebagai manifestasi dari firman Allah dalam QS. Al-An’am (6) ayat 162 dan QS. Adz-Dzariyat (52) ayat 56 (Al-Rasyidin & Syamsul Nizar, 2005: 52).
3.      Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja dengan sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap-tiap ilmu yang pantas baginya, dan tingkatan yang wajib baginya.
4.      Janganlah peserta didik mengikuti teman-temannya yang bodoh dalam mengecam sebagian ilmu, seperti ilmu mantik dan ilmu filsafat tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan dipuji tentangnya (Asma Hasan Fahmi, 1979: 176).
Berkenaan dengan sopan santun terhadap guru, Az-Zarnudji seperti dikutip Ahmad Syalabi menjelaskan peraturan sebagaimana berikut:
1.      Peserta didik janganlah sekali-kali berjalan di hadapan gurunya.
2.      Jangan duduk di tempat yang biasa diduduki guru.
3.      Jangan mulai berbicara di hadapannya, kecuali dengan seizinnya, dan kalau berbicara di hadapannya, janganlah berbicara terlalu banyak.
4.      Jangan menanyakan sesuatu kepadanya bila ia sedang marah dan hindarilah kemarahannya.
5.      Ikutilah perintahnya selama perintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan (Ahmad Syalabi, 1973: 312).

Dalam hal menjalin hubungan antara peserta didik, ada beberapa etika yang harus direalisasikan sebagaimana yang dinasihatkan oleh Az-Zarnuji kepada para pelajar, yaitu:
1.      Hendaklah memilih teman-teman yang berhati mulia dan suka hidup sederhana serta berwatak jujur.
2.      Hendaklah menjauhi teman-teman yang bersifat malas, suka menganggur berpangku tangan dan banyak bicara.
3.      Sepatutnya peserta didik jangan membanggakan diri kepada teman-temannya dengan sesuatu yang ada padanya, yang tidak dimiliki oleh teman-temannya yang lain.
4.      Jangan pula membangga-banggakan suatu kemuliaan jika ia memilikinya, atau sesuatu kekuasaan yang dipunyai oleh keluarganya, jika yang demikian itu akan menimbulkan kemarahan teman yang lebih rendah derajatnya, atau menyebabkan dia membuat sesuatu yang tidak layak terhadap temannya itu.
5.       Peserta didik hendaklah membiasakan diri untuk tidak menakut-nakuti anak-anak, melainkan haruslah bersikap baik kepada mereka, dan memberikan hadiah yang lebih baik atas sesuatu kebaikan yang mereka lakukan. Begitu pula, janganlah ia suka menipu anak-anak untuk mengambil sesuatu keuntungan dari mereka (Ahmad Syalabi, 1973: 315).
                  
H.    LULUSAN PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 tentang Standar Kompetensi Lulusan (2009: 62, 76-77) yang menyatakan bahwa standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam Bab V Standar Kompetensi Lulusan Pasal 25, 26, dan 27 disebutkan bahwa:

Pasal 25
1)      Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
2)       Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
3)       Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan.
4)       Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
                   
Pasal 26

1)      Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidupmandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2)      Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikanmenengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilanuntuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3)       Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikanmenengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkankecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, sertaketerampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikanlebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
4)      Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadianggota masyarakat yang berakhlak mulia, memilikipengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untukmenemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu,teknologi, dan seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Pasal 27
1)      Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengahdan pendidikan nonformal dikembangkan oleh BSNP danditetapkan dengan Peraturan Menteri.
2)       Standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkanoleh masing-masing perguruan tinggi.

Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor  2  Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah pada bab I, 2 dan 3 tentang Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.

I.       KESIMPULAN
Sesuai dengan permasalahan dalam pendahuluan di atas, tentang apa dan bagaimana pengertian peserta didik; kebutuhan peserta didik; peserta didik sebagai subjek pendidikan; pengembangan individu peserta didik; karakteristik peserta didik; sifat-sifat yang harus dimiliki peserta didik; tugas dan tanggung jawab peserta didik; dan etika menuntut ilmu dalam pendidikan Islam. Selain itu, tentang kompetensi lulusan dalam pendidikan Islam yang termuat dalam pendidikan Islam di Indonesia Maka penulis akan menyimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan sebagai suatu usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
Peserta didik merupakan individu yang memiliki sejumlah karakteristik dan kebutuhan, diantaranya:
Ø  Peserta didik adalah individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga ia merupakan insan yang unik.
Ø   Peserta didik adalah individu yang sedang berkembang. Artinya peserta didik tengah mengalami perubahan-perubahan dalam dirinya secara wajar, baik yang ditujukan kepada diri sendiri maupun yang diarahykan pada penyesuaian dengan lingkungannya.
Ø  Peserta didik adalah individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
Ø  Peserta didik adalah individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Ø  Peserta didik juga dikenal dengan istilah lain seperi Siswa, Mahasiswa, Warga Belajar, Palajar, Murid serta Santri.
Ø  Siswa adalah istilah bagi peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Ø  Mahasiswa adalah istilah umum bagi peserta didik pada jenjang pendidikan perguruan tinggi.
Ø  Warga Belajar adalah istilah bagi peserta didik nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Ø  Pelajar adalah istilah lain yang digunakan bagi peserta didik yang mengikuti pendidikan formal tingkat menengah maupun tingkat atas.
Ø  Murid memiliki definisi yang hampir sama dengan pelajar dan siswa.
Ø  Santri adalah istilah bagi peserta didik pada jalur pendidikan non formal, khususnya pesantren atau sekolah-sekolah yang berbasiskan agama Islam.
Ø  Peserta didik adalah individu yang memiliki kebutuhan jasmani, rohani, social dan intelektual.
Ø  Menurut teori tabularasa, perkembangan peserta didik sepenuhnya ditentukan oleh lingkungannya, sehingga nasib dan masa depan peserta didik dokondisikan oleh lingkungannya termasuk pendidikan yang dengan sengaja diberikan kepadanya.
Peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan yang mempunyai karakter yang baik atau berahklaqul karimah serta mampu memberikan pengaruh positif bagi masyarakat, lingkungan, Agama, bangsa dan negara, sehingga tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia yaitu terbentuknya Insan Kamil.
                                   


                        




DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi. (1991). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Achmadi. (2005). Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Tafsir. (2006). Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M. Arifin. (1993). Ilmu pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan interdisipliner. jakartaL Bumi Aksara.
Syaiful bahri Djamarah. (2000). Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-undang Sisdiknas RI Tahun 2003 No. 20
PP RI No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 2008 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agma Islam dan Bahasa Arab di Madrasah
http://elearning.unesa.ac.id/tag/konsep-tentang-anak-didik
http://elearning.unesa.ac.id/.../pengertian-peserta-didik
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/Ed21092646.pdf






Kamis, 03 Januari 2013

TARJAMAH, TAFSIR DAN TAKWIL


TARJAMAH, TAFSIR DAN TAKWIL
A.   Pendahuluan
          Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang abadi untuk semua masa, sedangkan hukum-hukumnya berlaku untuk semua manusia. Karena itu, berlaku baik orang yang hadir pada waktu ia turun maupun yang tidak. Ia sesuai untuk masa yang lalu dan masa yang akan datang, sebagaimana ia sesuai dengan masa yang sekarang.
            Al-Qur’an adalah sumber ajaran islam, kitab suci ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat islam sepanjang empat belas abad pergerakan umat ini.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap aya-ayat Al-Qur’an,melalui penafsiran-peanafsirannya mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat, sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Agama islam yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntn uamt manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar-dasar perundang-undangannya melalui Al Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber  utama dan mata air yang memancarkan ajaran islam yang mengandung serangkaian pengertian tentang akidah, pokok-pkok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat Al-Qur’an. Allah berfirman
¨bÎ) #x»yd tb#uäöà)ø9$# Ïöku ÓÉL¯=Ï9 šÏf ãPuqø%r& çŽÅe³u;ãƒur tûüÏZÏB÷sßJø9$# tûïÏ%©!$# tbqè=yJ÷ètƒ ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ¨br& öNçlm; #\ô_r& #ZŽÎ6x. ÇÒÈ
Artinya:  Sesungguhnya Al Qur’an Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.[1]
4 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Artinya: Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri[2]
            Al-Qur’an Al-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai “petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya”
ô`tBur ôM¤ÿyz ¼çmãYƒÎºuqtB y7Í´¯»s9'ré'sù tûïÏ%©!$# (#ÿrãÅ¡yz Nåk|¦àÿRr& $yJÎ/ (#qçR%x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÒÈ
Artinya: Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, Maka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.
Demi kebahagian hidup manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global, sehingga penjelasan dan penjabarannya dibebankan kepada Nabi Muhammad SAW.
            Dikarenakan Al-Qur’an masih bersifat umum dan global serta banyaknya ayat-ayat yang musybbihat/ mutsyabih membuat Al-Qur’an perlu dikupas dan di[elajari terkait apa yang ada dalam balik ayat tesebut untuk lebih mudah mempelajari isi dari kandungan Al-qur’an tersebut. Sehingga banyak ilmu yang dimunculkan dari Al_qur’an itu sendiri. Seperti Tarjamh, tafsir dan takwil. Sekilas kata-kata tersebut memilik kesamaan, akan tetapi sangat jauh berbeda. Maka dari itu disini [enulis mencoba untuk sedikit menjelaskan apa yang  dimaksud dengan terjemah, tafsir .dan takwil.
B.     Defenisi tarjamah, tafsir dan takwil
1.      Defenisi tarjamah
Arti tarjamah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suati bahasa ke bahasa yang lain. Adapun yang dimaksud dengan tarjamah Al-Qur’an adalah seperti yang dikemukakan oleh Ash Shabuni:
“Memindahkan Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah ini kedalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah dengan perantara terjemah itu.[3]
Pada dasarnya ada tiga corak penerjemahan, yaitu:
a.       Terjemah maknawiyah tafsiriyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan mensyarahkannya, namun tidak terikat oleh leterleknya, melainkan oleh makna dan tujuan kalimat aslinya. Terjemah semacam ini (dengan corak lain) sinonim dengan tafsir.
b.      Terjemah harfiyah bi al mistli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonimnya (murodif)-nya kedalam bahasa baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
c.       Terjemah harfiyah bi dzuni al mitsli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli kedalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan penerjemahnya
Dalam menerjemahkan Al-Qur’an, hendaknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.       Penerjemah hendaknya mengetahui bahasa asli dan bahasa terjemah
b.      Penerjemah mampu mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-    keistimewaan bahas yang diterjemahkan.
c.       Sighat (bentuk) terjemahannya benar dan apabila dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya tidak terdapat kesalahan.
d.      Terjemahan itu harus mewakili arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
2.      Defenisi tafsir
Penafsiran Al-Qur’an setelah Rasulullah wafat dirasakan sangat penting dan perlu ketika terjadi kasus-kasus hukum yang sebelumnya tidak pernah ada di zaman Rasulullah. Maka, segera diperlukan istinbath hukum dikalangan mereka. Mereka pun kadang-kadang berbeda pendapat, ealaupun dalam kasus yang sama.
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut peengertian bahasa adalah al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.[4]
Pada dasarnya pengertian tafsir berdasarkan etimologis, berrti membuka sesuatu yang tertutup atau membuka makna dari kata yang sulit untuk dipahami. Adapun makna tafsir secara terminologis ialah ilmu untuk memahami kitab suci Al-Qur’an sehinngga jelaslah makna, hukum, dan hikmah yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, tafsir atau ilmu tafsir adalah salah satu cabang disiplin ilmu agama islam.
Sejalan dengan huku alam, bahwa Allah mengutus Rasulnya dengan menggunakan bahasa arab.
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) Èb$|¡Î=Î/ ¾ÏmÏBöqs% šúÎiüt7ãŠÏ9 öNçlm; ( @ÅÒãŠsù ª!$# `tB âä!$t±o Ïôgtƒur `tB âä!$t±o 4 uqèdur âƒÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÍÈ
Artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.[5]
Al Quran diturunkan dalam bahasa Arab itu, bukanlah berarti bahwa Al Qu'an untuk bangsa Arab saja tetapi untuk seluruh manusia.
Disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.[6]
Secara alamiah, pemahamn Nabi Muhammad SAW terhadap Al-Qur’an bersifat umum dan rinci. Karena, Nabi mempunyai tugas menghafal dan menjelaskannya.
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ §NèO ¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmtR$uŠt/   
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Adapun tentang pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama’ banyak memberikan komentar, antara lain sebagai berikut:
a.    Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil
التفسير شرح القران وبيان معناه والافصاح بما يقضيه بنصه
Artinya: tafsir adalah uraian yang menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nash, isyarat, atau tujuannya.[7]

b.   Menurut syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih:
        Artinya: tafsir pada hakikatnya menjelaskan lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah lafadz tersebut.
c.  Menurut Abu Hayyan
Artinya; tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makan-makna yang terkandung di dalamnya.
d. Menurut Az-Zarkasyi:
Artinya: tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah uang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.[8]
                       Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama’ tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkapkan nilai-nilai samawi yang terdapat dalam Al-Qur’an.
3.      Defenisi Takwil
           Pemahamn literal terhadap teks ayat Al-Qur’an tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan social, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
           Dahulu sebagian ulama’ merasa puas dengan menyatakan bahwa “Allahu a’lam bimuradihi” (Allah mengetahui maksudnya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufassir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan takwil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan pen-takwil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.
           Tentunya kita dapat menggunakan takwil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syatibi mengemukakan dua syarat pokok bagi pen-takwil-an ayat-ayat Al-Qur’an.
           Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
           Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik. Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersbut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
           Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-takwil-an, sehingga ia banyak mengandalkan akal, sedangkan factor kebahasaan selam ada kaitan makna pen-takwil-an dengan kata yang di-takwil-kan. Karena itu, kata jin yang berarti “sesuatu yang tertutup” diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha, diartikan sebagai “kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).[9]
           Takwil sebagaimana yang dikemukakan diatas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Qur’an ditengah kehidupan modern dewasa ini dan masa yang akan datang.
Kata-kata takwil Al-Qur’an digunakan dalam tiga ayat Al-Qur’an
$¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3
Artinya: Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.[10]
ôs)s9ur Nßg»uZ÷¥Å_ 5=»tGÅ3Î/ çm»oYù=¢Ásù 4n?tã AOù=Ïæ Wèd ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sムÇÎËÈ ö@yd tbrãÝàZtƒ žwÎ) ¼ã&s#ƒÍrù's? 4 tPöqtƒ ÎAù'tƒ ¼ã&é#ƒÍrù's? ãAqà)tƒ šúïÏ%©!$# çnqÝ¡nS `ÏB ã@ö7s% ôs% ôNuä!%y` ã@ßâ $uZÎn/u Èd,ysø9$$Î/

Artinya:.  Dan Sesungguhnya kami Telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang kami Telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
      Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran.
ö@t/ (#qç/¤x. $yJÎ/ óOs9 (#qäÜŠÏtä ¾ÏmÏJù=ÏèÎ/ $£Js9ur öNÍkÌEù'tƒ ¼ã&é#ƒÍrù's? 4 y7Ï9ºxx. z>¤x. tûïÏ%©!$# `ÏB óOÎgÎ=ö6s% ( öÝàR$$sù y#øx. šc%x. èpt7É)»tã šúüÏJÎ=»©à9$# ÇÌÒÈ
Arttinya: Bahkan yang Sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan Sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka Telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.
                   Arti takwil menurut lughat berarti menerangkan, menjelaskan. Kata takwil diambil dari kata awwala-yu’awwilu-takwilan. Al-Qotthan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti takwil menurut lughat adalah ar-ruju’ ila al-ashl (kembali kepada pokokny ).  Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqani adalah sama dengan arti tafsir.[11]
Pengertian takwil menurut para mufassir dan ulama’
                 Adapun mengenai arti takwil menurut istilah, banyak para ulama’ memberikan pendapatnya. Para mufassir berbeda pendapat tentang pengertian takwil. Terdapat lebih dari sepuluh pendapat tentang hal itu. Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Menurut Al-jurjani berikut ini
Artinya: Memalingkan suatu lafadz dari makna dzahirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternative yang dipandangnya sesuai dengan aturan dan ketentuan Al-Kitab dan As-Sunnah
b.      Menurut defenisi lain:
Artinya: Takwil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya (tujuannya) yakni menerangkan apa yang dikehendaki atau apa yang dimaksud.
                 Diantara pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ulama’ ada dua pendapat yang terkenal, yaitu:
                 Pendapat yang pertama adalah pendapat ulama’-ulama’ klasik (salaf/ qudama’). Penddapat ini mengatakan bahwa takwil dan tafsir itu searti. Oleh karena itu, semua ayat Al-Qur’an mempunyai takwil, kecuali ayat berikut:[12]
$tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3
“ Tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah” (QS 3: 7)
Berdasarkan ayat ini, maka yang mengetahui ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah SWT. Karena itu, sebagian ulama’ klasik berpendapat bahwa ayat-ayat mutasyabih adalah singkatan-singkatan pada permulaan-permulaan beberapa surat, karena tiadak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang maknanya tidak diketahui oleh semua manusia selain singkatan-singkatan ini. Mengingat Al-Qur’an mengatakan bahwa selain Allah tidak ada yang tahu takwil sebagian ayat, dan tidak ada ayat-ayat yang artinya tidak diketahui oleh semua manusia.
                 Pendapat yang kedua adalah pendapat ulama’ mutaakhir. Pendapat ini mengatakan bahwa takwil me,punyai makna yang berbeda dengan makna lahir suatu ayat. Oleh karena itu, tidak semua ayat Al-Qur’an dapat ditakwil, kecuali ayat-ayat mutasyabih. Dan yang tahu ayat-ayat mutasyabih ini hanyalah Allah. Begitu pula ayat-ayat yang lahirnya menunjukkan penisbatan dosa kepada Rasul dan Nabi yang suci.
                 Sedemikian termasyhur pendapat ini, sampai-sampai kata takwil diartikan sebagai berbeda dengan makna lahir. Begitu pula, menafsirkan ayat yang berbeda dengan makna lahirnya, dengan alas an yang mereka sebut takwil merupakan tema yang dikenal luas, padahal tema tersebut mengandung kontradiksi.
                 Walaupun sangat terkenal, pendapat ini tidak sesuai dengan aya-ayat Al-Qur’an, karena.
                 Pertama, perkataan Al-qur’an
ö@yd tbrãÝàZtƒ žwÎ) ¼ã&s#ƒÍrù's? 4
Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran)
                 Kedua, akibat dari pendapat ini ialah karena ada ayat-ayat Al-qur’an yang pengertian hakiki ayat-ayat itu tidak jelas dan tidak diketahui oleh manusia, dan yang mengetahuinya hanyalah Allah. Ucapan yang tidak jelas maksudnya adalah bukanlah merupakan ucapan yang indah, padahal Al-Qur’an telah membuktikan keunggulannya dalam keindahan bahasa kepada dunia sastra.
                 Ketiga, berdasarkan pendapat ini, maka tidak sempurnalah penalaran Al-Qur’an, karena:
Ÿxsùr& tbr㍭/ytFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ÏZÏã ÎŽöxî «!$# (#rßy`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2 ÇÑËÈ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan      dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
                 Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an bukanlah perkataan manusia adalah tidak adanya pertentangan antara makna dan maksud ayat-ayatnya, meskipun jarak masa turunnya lama, berbeda kondisi dan sebab turunnya.
                 Keempat, sama sekali tidak ada alasan bahwa menakwilkan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih berarti bertentangan dengan makna lahir ayat itu, dan arti semacam itu tidak terdapat pada apa yang disebut “takwil”.
                 Sebelum menutup persoalan ini, kita garis bawahi bahwa tidaklah tepat men-takwil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan factor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila pertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.
C. Perbedaan Tarjamah, tafsir, dan Takwil
           Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan terjemah di lain pihak adalah tafsir dan takwil berupaya menjelaskan makna setiap kata di dalam Al-Qur’an, sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Arab kedalam bahasa non Arab.
           Adapun perbedaan tafsir dan takwil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:[13]
Tafsir
Takwil
1.      Ar-Raghif Al-Asfahani:
Lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafadz dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
2.      Menerangkan lafadz yang tak menerima selain dari satu arti
3.      Al-Maturidi: Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah
4.      Abu Thalib Ats-Tsa’labi: Menerangkan makna lafadz, baik berupa hakikat atau majaz. 
1.      Ar-Raghif Al-Adhfahani: lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja.
2.      Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafadz yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
3.      Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.
4.      Abu Thalib Ats-Tsa’labi: Menafsirkan bathin lafadz. 

D. Hukum-hukumnya
                 Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an mencatat adanya peringkat validitas tafsir dan gradasinya sesuai dengan referensi tafsir Al-Qur’an itu sendiri. Gradasi validitas itu dapat disingkat sebagai berikut:
Pertama, penafsiran Al-Qur’an oleh Al-Qur’an
Kedua, penafsiran Al-Qur’an oleh Rasulullah
Ketiga, penafsiran Al-Qur’an oleh sahabat
Keempat, penafsiran Al-Qur’an oleh Tabi’in dan Tabi’it-tabi’in
Kelima, penafsiran Al-Qur’an oleh muta’akhiriin.
                 Disamping itu perlu juga dicatat bahwa referensi tafsir Al-Qur’an pada masa sahabat adalah Al-Qur’an, Rasulullah, Allah, ijtihad dan kekuatan beristinbath; serta pendapat para Ahlul Kitabbbaik Nasrani maupun Yahudi.
                 Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, sebagai validitas pertama, menduduki gradasi teratas. Penafsiran peringkat ini dapat mengambil berbagai bentuk. Kedua penafsiran Al-Qur’an oleh Rasulullah, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 44 surat An-Nahl:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Artinya:  Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
                 Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa Nabi Muhammad SAW bertugas dan berwenang menerangkan makna-makna Al-Qur’an. Sehingga pantas kiranya bahwa beliau mendudukiperingakat teratas dalam menafsirkan Al-Qur’an karena kelebihan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad dibandingkan dengan Nabi-nabi yang lain, disamping itu pula Al-Qur;an merupakan salah satu Mukjizat yang terbesar dianatara mukjizat-mukjizat yang lain.



                
                                                                       


                                                                                     

DAFTAR PUSTAKA
-  Allamah Muhammad Husein Thabatthaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Penerbit mizan Bandung 1993
-  Ash-Shiddieqy, TM Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Bulan Bintang Jakarta 1994
-  Drs. Rosihan Anwar, M.Ag. Ulumul  Qur’an, penerbit PUSTAKA SETIA Bandung 2000
-  M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, PT. Mizan Pustaka Bandung 2009
-  Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Ahkam, PT. bina ilmu Surabaya 2003
-  Prof. Drs. H. Sa’ad Abdul Wahid, Tafsir Al-Hidayah, Suara Muhammadiyah Yogyakarta 2004

              






[1] Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya
[2] Ibid
[3] Mohammad Ali As-Shabuni, At-Tibyan fi ulum Al-Qur’an, Maktabah Al-Ghazali , Damaskus, 1390, hlm 277
[4] Al-Jurjani Al-Ta’rifat, At-Thaba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah, t.t hlm 63
[5] Ibid
[6] Allamah M.H. Thabathaba’I, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, hlm. 21
[7] Ash- Shiddieqy, TM. Hasby, Sejarah dan pengantar ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, Bandung, 1994, hlm         178
[8] Ibid, hlm. 64
[9] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. hlm, 105
[10] Ibid
[11] Muhammad Az-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi ulum Al-Qur’an, Juz 1, Isa Al-Babi Al-Halabi, Mesir, t.t, hlm. 4-5
[12] M.H Thabattaba’I 52
[13] Ash-Shiddieqy, hlm. 181-182