Senin, 19 Oktober 2015

Agar Bisa Lebih Menghargai



Agar Bisa Lebih Menghargai
Dulu, saya sering sekali mengeluh karena belum menikah. Saya selalu merasa ingin memiliki seorang suami yang dengan kekuatannya akan menutupi kelemahan saya, yang dengan ketelitiannya akan menutupi kecerobohan saya, yang dengan kelebihannya akan menutupi kekurangan saya.
Saat saya harus bercapek-capek naik ke lantai atas rumah saya membawa dua sampai tiga ember pakaian yang telah dicuci untuk dijemur, kadang-kadang saya mengeluh, "Senangnya kalau punya suami, nggak usah ngangkat-ngangkat ember kayak begini".
Saat saya harus pergi belanja ke pasar dan pulang kelelahan membawa belanjaan yang berat, saya juga mengeluh "Bahagianya punya suami, nggak mesti jalan sendirian. Nggak perlu bawa-bawa belanjaan berat kayak begini lagi."
Saat suatu hari saya mencoba meluruskan cantelan tas yang terbuat dari besi dengan menggunakan tang, saya pun mengeluh, "Kalo punya suami... nggak harus megang-megang tang kayak gini nih, tangan pake lecet segala lagi."
Saat saya mencoba mengganti lampu yang mati dengan yang baru, sekali lagi saya mengeluh, "Wah, enaknya punya suami, nggak mesti naik-naik tangga kayak begini benerin lampu, pake kena setrum lagi..."
Biasanya saya suka menimpali diri saya sendiri, "Emangnya suami tukang ngangkatin ember?!" atau "Emangnya suami tukang benerin lampu?!", "Emangnya suami apaan?!"
Tapi itu dulu... hingga suatu hari saya bertemu dengan kakak sepupu saya beberapa waktu lalu.
***
Dia seorang wanita karir, dan saya tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran berharga darinya.
Sepupu saya itu bercerita bahwa ia harus bekerja dari pagi sampai sore hari. Sebenarnya mungkin tidak terlalu banyak yang dia kerjakan di kantor. Hanya saja dia harus datang sebelum bosnya datang dan pulang setelah bosnya pulang. Jarak antara rumah kosnya dengan kantornya yang cukup jauh, ditambah dengan kemacetan di jalan, sangat menyita banyak waktunya.
"Melelahkan! Kalau saat ini kakak udah punya suami dan punya anak..." katanya, "wah, susah banget deh jadi wanita karir, jadi istri, trus jadi ibu pula pada saat yang bersamaan."
Itulah yang membuatnya mengambil keputusan bila ia menikah nanti ia akan melepaskan pekerjaannya. Ia meragukan dirinya bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat bekerja, sementara ia sendiri harus bersiap untuk pergi bekerja juga, menyediakan makan malam untuk suaminya sebelum pulang kantor padahal ia sendiri mungkin masih keletihan karena baru pulang dari kantor, itu pun kalau dia sudah pulang. Sulit baginya membayangkan bagaimana ia akan menjalankan perannya sebagai istri di rumah bila ia tetap mempertahankan pekerjaannya yang melelahkan itu.
Mungkin tidak banyak wanita di zaman ini yang sependapat dengannya. Karena saya lihat di luar sana banyak wanita yang telah bekerja kemudian menikah tetapi tetap mempertahankan pekerjaanya. Dan (tampaknya) mereka baik-baik saja.
Mendengar keluh-kesahnya, saya tidak merasa lebih beruntung karena pekerjaan saya di rumah lebih ringan dibandingkan pekerjaanya. Ingin rasanya waktu itu saya meyakinkan kakak sepupu saya itu bahwa pekerjaan di rumah juga tidak kalah melelahkan dengan menjadi seorang wanita karir seperti dia. Namun belum sempat saya bercerita,
"Tapi... ada hikmahnya juga kakak ngerasain capek-capek kerja kayak gini..." katanya, "pergi pagi, pulang malem, sibuk di kantor, dan capek di jalan..."
Dia memandang saya dengan mata yang menerawang. Sementara saya mencoba mengerti hikmah apa sebenarnya yang dia maksud.
"Ternyata... begini toh rasanya bekerja keras, bersusah payah mencari uang buat makan. Ternyata nggak gampang! Kakak jadi bisa lebih menghargai suami kakak nanti yang nyari nafkah buat kakak..." katanya mengakhiri perbincangan hari itu.
Kata-kata itulah yang membuat saya berhenti mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan di rumah dan berhenti berandai-andai kalau saya punya suami maka pekerjaan saya akan lebih ringan.
Yah, saya jadi menyadari bahwa pekerjaan suami itu jauh lebih berat dari sekadar mengangkat ember atau membawa belanjaan sehingga saya harus lebih menghargai jerih payahnya dan rela ngangkat-ngangkat sendiri. Tanggung jawabnya lebih besar dari sekadar menjaga saya dari setruman listrik atau melindungi tangan saya supaya nggak lecet sehingga saya harus lebih menghormatinya dan lebih berhati-hati menjaga diri saya sendiri.
Tapi... saya rasa walaupun setiap wanita sanggup dan rela melakukan itu semua sendiri, sepertinya seorang suami tidak akan rela. Sehingga dialah yang akan melakukannya untuk isterinya. Dan pada saat itulah sang istri tahu apa yang harus ia lakukan untuk suaminya.
Sekarang, saya menikmati melakukan semua pekerjaan saya di rumah. Saya hayati bagaimana pun beratnya pekerjaan itu, bagaimana pun susahnya pekerjaan itu. Supaya suatu saat nanti saya akan lebih menghargai seseorang yang akan melakukan semua itu untuk saya.


"teman-teman seperjuangan"-ku, berjuanglah... karena ada yang sedang berjuang juga untuk kita di luar sana

Rabu, 07 Oktober 2015

Aku Yakin, Aku Tidak Sendiri



Sungguh. Hingga saat ini aku belum bisa menerjemahkan rasa hatiku sendiri. Sejak pertama kali suamiku mengatakan niatnya untuk melanjutkan studi ke negeri jiran setahun lalu, hingga sore ini, di mana besok suamiku harus berangkat, aku masih merasa asing dengan perasaanku.
Bahagia! Beberapa orang mengatakan aku harus demikian. Karena kesempatan ini adalah karunia yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.
Sedih? Itu yang ada di lubuk kalbuku, saat kulihat putra kami yang belum juga genap dua tahun harus tumbuh berkembang tanpa ayah di sisinya, untuk sementara waktu.
Ah… biarlah semuanya mengalir seperti air. Biarlah semuanya diatur oleh Dzat Yang Maha Mengetahui kesudahan hamba-Nya. Biarlah!
Memang hanya itu yang selama ini mengakhiri perenunganku, tentang hidup kami setelah suamiku berangkat. “Sabar ya, Sayang. Toh nanti kamu pun akan menyusul. Berdoalah semoga Allah segera mengumpulkan kita kembali dalam keadaan yang lebih berbahagia…” demikian kata-kata yang selalu diucapkan oleh suamiku, untuk menenangkanku. Aku pun paham, bahwa dia juga terhibur dengan kata-kata itu. Dan, akhirnya, hanya senyum yang menyudahi pembicaraan kami. Senyum penuh harapan, akan tercapainya cita-cita.
***
Allah memang mempunyai cara tersendiri untuk menata kehidupan hamba-Nya. Aku merasa amat bersyukur. Enam bulan lalu, perusahaan tempat suamiku bekerja merumahkan seluruh karyawannya. Saat itu, kami sendiri merasa gundah, terlebih berita di media menyebutkan bahwa ini adalah awal dari PHK.
Ah… padahal sebelumnya kami sama sekali tak pernah membayangkannya. Memang, kadang niatan untuk mencari nafkah di tempat lain muncul, tapi itu hanya suatu wacana, bukan sebuah keseriusan. Dan, tatkala musibah itu datang, kami pun khawatir.
Doa pun mengalir tiada henti, memohon kemurahan rizki-Nya. Memohon ketenangan batin, mengharap situasi segera berubah. Alhamdulillah, dua pekan setelah itu, berita gembira datang. Setelah empat kali mengirimkan pengajuan beasiswa, Allah pun menjawabnya. Seorang professor salah satu perguruan tinggi negeri di Malaysia, mengijinkannya mengerjakan sebuah proyek, sembari mengambil pendidikan master. Subhannallah.. Alhamdulillah, pertolongan Allah memang begitu dekat buat semua hamba-hamba-Nya.
Hal yang dulu sempat menjadi masalah tak terpecahkan dalam setiap percakapan kami, akhirnya berubah menjadi sebuah anugerah yang tak ternilai. Jika dulu, aku sangat menentang keinginannya untuk melanjutkan studi karena kami harus berpisah, malah akhirnya aku menjadi pendukung utamanya. Subhannallah… Allah memang Maha membolak-balik hati hamba-Nya.
***
Sore ini, kembali aku merenung. Setelah dukungan demi dukungan kukerahkan padanya untuk persiapan keberangkatannya, aku tercenung. Apa yang nanti akan terjadi saat kami berpisah? Bagaimana aku bisa meng-handle semua pekerjaan rumah tangga yang dulu kami kerjakan berdua, bahkan bertiga dengan pengasuh anakku? Kepada siapa aku harus menumpahkan segala uneg-uneg setelah lebih dari delapan jam aku bekerja di kantor? Bagaimana aku harus menjelaskan kepada bocah kami, jika nanti dia merengek menanyakan ayahnya?
Beribu pertanyaan bermunculan di benakku. Namun tak satu pun yang terjawab. Semuanya bak misteri.
Hingga adzan maghrib berkumandang, aku masih belum menemukan jawabannya.
Kuambil air wudhu dan kutunaikan sholat. Aku berencana untuk menumpahkan segala rasaku pada Sang Khalik, usai sholat nanti.
Dan air mataku pun tak bisa kutahan lagi saat kata demi kata terurai, tertuju kepada-Nya. Aku memang masih bisa menahan emosi dan air mataku di depan suamiku. Karena aku tak ingin semangatnya jatuh kembali setelah beribu dukungan kuberikan kepadanya. Aku percaya akan tujuannya, menuntut ilmu untuk berusaha mengubah nasib kami.
Doakan ayah dapat ilmu yang manfaat ya, Ma, begitu kalimat yang selalu diucapkannya jika kami berbincang tentang rencana itu.
Namun, apakah aku mampu menyembunyikan segala kesedihan dan kekhawatiran hati ini kepada-Nya? Kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui hal yang nyata dan yang ghaib? Tidak! Tentu tidak. Aku tidak dapat berbohong kepada-Nya.
Sekarang aku mulai memahami, bahwa hatiku memang sedih. Aku memang khawatir… aku memang takut.
Namun semua kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan yang kurasakan harusnya tidak boleh terjadi.
Aku harus pasrah.. harus tawakal. Karena rencana itu tidak akan terjadi kecuali atas kehandak-Nya. Bukankah sebelumnya aku selalu berdoa meminta keputusan yang terbaik? Jika kemudian Allah menganugerahkan hal ini padanya, tentunya ini juga terjadi atas kehendak-Nya.
Aku harus tegar. Aku harus ikhlas.
Aku harus tetap menjalankan kehidupanku dengan sebaik-baiknya. Aku masih harus terus mendidik buah hati kami, walau tanpa ayah disampingnya. Apa pun yang terjadi, air mataku tak boleh menetes di depan putraku.
Aku yakin aku tidak sendiri. Ada Allah.. Dzat Yang Maha Pemurah… Dzat yang tak pernah kering kasih sayang-Nya… Dzat Yang Maha Welas Asih…Dzat Yang Maha Perkasa.
Kepada-Nya lah aku harus mengadukan setiap hal yang kuhadapi. Saat masalah datang. Saat kelelahan mendera jiwa dan raga. Saat beragam pernik kehidupan harus kulintasi.
Aku teringat petikan nasyid yang dikumandangkan Raihan:
Selangkah ku kepada-Mu.
Seribu langkah kau padaku…
Selama kita berusaha mendekat kepada-Nya, insya Allah Dia juga akan mendekat pada kita, seribu kali.
Doa. Hanya melalui doa-doa panjanglah aku akan mengharap rahmat-Nya. Agar cita-cita mulia yang kami impikan, bisa menajdi sebuah kenyataan.

Untuk suamiku: berdoalah agar keikhlasan selalu bertambah di hati kita