Agar
Bisa Lebih Menghargai
Dulu, saya sering
sekali mengeluh karena belum menikah. Saya selalu merasa ingin memiliki seorang
suami yang dengan kekuatannya akan menutupi kelemahan saya, yang dengan
ketelitiannya akan menutupi kecerobohan saya, yang dengan kelebihannya akan
menutupi kekurangan saya.
Saat saya harus
bercapek-capek naik ke lantai atas rumah saya membawa dua sampai tiga ember
pakaian yang telah dicuci untuk dijemur, kadang-kadang saya mengeluh,
"Senangnya kalau punya suami, nggak usah ngangkat-ngangkat ember kayak
begini".
Saat saya harus
pergi belanja ke pasar dan pulang kelelahan membawa belanjaan yang berat, saya
juga mengeluh "Bahagianya punya suami, nggak mesti jalan sendirian. Nggak
perlu bawa-bawa belanjaan berat kayak begini lagi."
Saat suatu hari
saya mencoba meluruskan cantelan tas yang terbuat dari besi dengan menggunakan
tang, saya pun mengeluh, "Kalo punya suami... nggak harus megang-megang
tang kayak gini nih, tangan pake lecet segala lagi."
Saat saya mencoba
mengganti lampu yang mati dengan yang baru, sekali lagi saya mengeluh,
"Wah, enaknya punya suami, nggak mesti naik-naik tangga kayak begini
benerin lampu, pake kena setrum lagi..."
Biasanya saya
suka menimpali diri saya sendiri, "Emangnya suami tukang ngangkatin
ember?!" atau "Emangnya suami tukang benerin lampu?!",
"Emangnya suami apaan?!"
Tapi itu dulu...
hingga suatu hari saya bertemu dengan kakak sepupu saya beberapa waktu lalu.
***
Dia seorang
wanita karir, dan saya tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran berharga darinya.
Sepupu saya itu
bercerita bahwa ia harus bekerja dari pagi sampai sore hari. Sebenarnya mungkin
tidak terlalu banyak yang dia kerjakan di kantor. Hanya saja dia harus datang
sebelum bosnya datang dan pulang setelah bosnya pulang. Jarak antara rumah
kosnya dengan kantornya yang cukup jauh, ditambah dengan kemacetan di jalan,
sangat menyita banyak waktunya.
"Melelahkan!
Kalau saat ini kakak udah punya suami dan punya anak..." katanya,
"wah, susah banget deh jadi wanita karir, jadi istri, trus jadi ibu pula
pada saat yang bersamaan."
Itulah yang
membuatnya mengambil keputusan bila ia menikah nanti ia akan melepaskan
pekerjaannya. Ia meragukan dirinya bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya
sebelum berangkat bekerja, sementara ia sendiri harus bersiap untuk pergi
bekerja juga, menyediakan makan malam untuk suaminya sebelum pulang kantor
padahal ia sendiri mungkin masih keletihan karena baru pulang dari kantor, itu
pun kalau dia sudah pulang. Sulit baginya membayangkan bagaimana ia akan
menjalankan perannya sebagai istri di rumah bila ia tetap mempertahankan
pekerjaannya yang melelahkan itu.
Mungkin tidak
banyak wanita di zaman ini yang sependapat dengannya. Karena saya lihat di luar
sana banyak wanita yang telah bekerja kemudian menikah tetapi tetap mempertahankan
pekerjaanya. Dan (tampaknya) mereka baik-baik saja.
Mendengar
keluh-kesahnya, saya tidak merasa lebih beruntung karena pekerjaan saya di
rumah lebih ringan dibandingkan pekerjaanya. Ingin rasanya waktu itu saya
meyakinkan kakak sepupu saya itu bahwa pekerjaan di rumah juga tidak kalah
melelahkan dengan menjadi seorang wanita karir seperti dia. Namun belum sempat
saya bercerita,
"Tapi... ada
hikmahnya juga kakak ngerasain capek-capek kerja kayak gini..." katanya,
"pergi pagi, pulang malem, sibuk di kantor, dan capek di jalan..."
Dia memandang
saya dengan mata yang menerawang. Sementara saya mencoba mengerti hikmah apa
sebenarnya yang dia maksud.
"Ternyata...
begini toh rasanya bekerja keras, bersusah payah mencari uang buat makan.
Ternyata nggak gampang! Kakak jadi bisa lebih menghargai suami kakak nanti yang
nyari nafkah buat kakak..." katanya mengakhiri perbincangan hari itu.
Kata-kata itulah
yang membuat saya berhenti mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan di
rumah dan berhenti berandai-andai kalau saya punya suami maka pekerjaan saya
akan lebih ringan.
Yah, saya jadi
menyadari bahwa pekerjaan suami itu jauh lebih berat dari sekadar mengangkat
ember atau membawa belanjaan sehingga saya harus lebih menghargai jerih
payahnya dan rela ngangkat-ngangkat sendiri. Tanggung jawabnya lebih besar dari
sekadar menjaga saya dari setruman listrik atau melindungi tangan saya supaya
nggak lecet sehingga saya harus lebih menghormatinya dan lebih berhati-hati
menjaga diri saya sendiri.
Tapi... saya rasa
walaupun setiap wanita sanggup dan rela melakukan itu semua sendiri, sepertinya
seorang suami tidak akan rela. Sehingga dialah yang akan melakukannya untuk
isterinya. Dan pada saat itulah sang istri tahu apa yang harus ia lakukan untuk
suaminya.
Sekarang, saya
menikmati melakukan semua pekerjaan saya di rumah. Saya hayati bagaimana pun
beratnya pekerjaan itu, bagaimana pun susahnya pekerjaan itu. Supaya suatu saat
nanti saya akan lebih menghargai seseorang yang akan melakukan semua itu untuk
saya.
"teman-teman
seperjuangan"-ku, berjuanglah... karena ada yang sedang berjuang juga
untuk kita di luar sana