Allah,
beri kami surga kecil Rumah syhadu berhias rahmah Di sana tergelar helai-helai
sajadah Tempat kami berpinta dan bermunajah
Allah
beri kami surga kecil,
Istana mungil
bertahta sakinah Tempat kami berteduh melepas lelah Ranjang kokoh bertabur
berkah Tempat malam-malam kami dipeluk mimpi indah
Allah,
beri kami surga kecil
(sebuah
sumber)
Ada
yang enggan menikah. Bukan ada lagi, bahkan banyak. Salah satu alasan yang
paling sering hinggap di telinga adalah kemapanan. Belum punya rumah tinggal.
Belum berpenghasilan tetap. Bahkan salah seorang teman kampus menyatakan ia
akan menikah setelah mempunyai rumah dan kendaraan beroda empat. Kalau rumah
dan mobil belum termiliki, menurutnya kebahagiaan menikah tidak akan ada. Kalau
tidak bahagia, buat apa menikah!
Tapi
benarkah kebahagiaan menikah melulu terletak pada kemapanan dan ketersediaan
materi? Benarkah sakinah terengkuh kalau sudah punya hunian yang nyaman,
kendaraan berkelas dan penghasilan yang mencapai nominal tertentu. Bisa jadi
demikian tapi sepertinya saya harus menggelengkan kepala. Saya teringat pada
seseorang. sahabat karib saya.
Entah
di mana ia sekarang. Yang jelas kehidupan ekonominya naik kelas. Lelaki yang
menikahinya orang kaya dan mempunyai pekerjaan di tempat yang kata orang
'basah'. Sewaktu dia menikah orang-orang menganggapnya beruntung karena
mendapatkan jodoh yang demikian yahud. Suatu ketika Allah memperkenankan kami
bertemu. Yupe, ia terlihat lain. Dandanan orang 'berpunya'. Kami mengobrol.
Iseng-iseng saya membuka majalah dan menunjukkan kepadanya iklan perumahan.
Saya bilang alangkah senangnya punya rumah megah seperti itu. Tapi jawabannya
membuat saya terdiam.
"Ah
kata siapa punya rumah kaya gitu menyenangkan, siap-siap aza suaminya selalu
bergelut dengan pekerjaan, pulang larut pergi dini hari, yang di kepalanya cuma
bisnis, waktu baginya adalah uang, mau punya anak aza berhitung minta ampun,
kita memang berlimpah harta, tapi di sini sepi," urainya sambil menunjuk
dada. Nampak sekali ia gundah. Dan curhatlah ia. Tumpah ruah.
Saya
memandangnya lekat. Sama sekali tidak menyangka bahwa menurutnya kebahagiaanya
terenggut sejak pertama ia menikahi seseorang yang dipilihkan orang tuanya,
beberapa tahun yang lalu. Ia berlimpah kekayaan tapi sungguh ia tidak bahagia.
***
Ini
kisah lain. Suaminya sekarang mapan. Sofa mahal itu bukan lagi masalah dan
ruang tamunya terlihat lain. Lebih indah dan nyaman. Rumahnya baru direnovasi.
Lantai keramik, kitchen set lengkap, kamar mandi ber-shower, belum lagi
alat-alat rumah tangga serba elektronik yang ikut diganti menjadi baru dan
lebih canggih. Hidupnya menjadi lebih mudah. Dan setiap pulang kampung dengan
mobil barunya, maka ia pasti dipuji-puji karena tangan yang ia tempelkan ketika
salaman tidaklah kosong.
Orang-orang
menganggap bahwa kebahagiaan adalah kini miliknya. Tapi tunggu dulu! Justru
saat-saat sekarang ia jarang mengembangkan senyuman. Jika dengan seksama
memperhatikannya, kekhawatiran itu dominan terlihat. Bahkan ia berubah menjadi
seorang ibu yang murung dan pemarah. Kesalahan anak-anaknya yang sepele
membuatnya menjadi pemberang.
Rumah
'impiannya' berubah megah. Tapi segalanya juga berubah. Suaminya sedikit demi
sedikit menjelma diktator yang menciutkan keberadaanya. Titah suaminya
sedikitpun tak boleh dicela. Jika suaminya berkata A maka seisi rumah harus
utuh menelannya bulat-bulat. Tak ada lagi suami yang senang bercanda dan
meleburkan kepenatan kesehariannya. Entah ke mana sosok suami sabar, penyayang
dan suka membantu pekerjaan domestiknya. Suaminya berubah menjadi seorang yang
asing. Dan hal ini yang membuatnya dadanya sesak, membuat air matanya luruh
diam-diam dan menguras energinya untuk tersenyum. Iya kalau materi menjadi
berlimpah, tapi ketentraman bathinnya terkikis habis-habisan. Iya jika uang
belanja menjadi berlipat-lipat tapi suaminya menjadi sok kuasa dan sering
melecehkannya. Yang memilukan adalah suaminya marah-marah jika diingatkan untuk
mendirikan shalat.
Kemapanan
telah tergenggam, tapi apakah berbanding lurus dengan kebahagiaan yang berkelindan
dalam dadanya? Tidak!
***
Saya
jadi teringat dengan pesan almarhum ayah. Menurutnya harta bukan jaminan untuk
mewujudkan keluarga bahagia. "Harta hanya sementara, sedangkan kebahagiaan
seharusnya tetap hadir meski tanpanya," itu katanya suatu saat. Ia menambahkan,
yang paling penting dan harus selalu ada dalam rumah tangga adalah pilar agama
bukan pilar beton megah. Tanpa agama keluarga seperti minyak wangi dalam botol
yang tidak ada katupnya. Semerbaknya hanya sementara, wanginya perlahan
menghilang terbawa angin. Indahnya hanya di awal-awal saja. Manisnya berada di
permulaan. Seiring waktu berjalan, mereka lupa misi pelayaran keluarga. Dan
ketenangan itu sirna. Padahal tujuan berkeluarga adalah merengkuh ketenangan.
Maka tak heran ada yang tidak betah lagi tinggal di rumah. Rumah megah itu
hanya menjadi tempat singgah. Itu alegori ayah yang saya kenang sampai
sekarang.
Siapapun
orangnya tentu berkeinginan membangun keluarga penuh kebahagiaan. Karena apa?
Karena keluarga bahagia adalah surga. Surga kecil yang Allah hadirkan sebelum
surga akhirat dengan segala keindahan dan kenikmatan itu kelak. Keluarga
bahagia adalah surga, karena di sana mereka betah bernaung dan menjadi tempat
yang paling ingin disinggahi.
Surga
kecil. Yah, surga yang hadir terlalu awal. Keluarga yang sakinah.
Allah,
beri kami surga kecil!